Mama Terlambat


Melihat wajah munggil Willy terasa begitu memuakkan. Wajahnya mengingatkanku pada seorang manusia bernama Pria. Makhluk tak bertanggung jawab dan tak berguna yang hanya membuat bumi penuh. Duplikat wajah yang selalu mengingatkan pada sebuah hal pahit masa remaja. Sedih hati ini setiap ingat si kecil Willy yang selalu setia menungguku pulang. Dengan mukanya yang polos dan murni menyambutku dengan sapaan “Mama...”
Hanya senyum terpaksa yang selalu kuberikan untuk menjawab sapaannya. Sangat ingin aku tidak peduli pada Willy, namun setiap mengingat kepolosannya dan kemurniaanya aku tak bisa benar-benar tak peduli padanya.
Sudah lima tahun berlalu, tapi kebencian pada Pria tetap bercokol di hidupku. Dan kebencian itu makin tumbuh setiap melihat Willy yang makin jelas menduplikat Pria.
***
Malam ini, sepulang kantor tak kutemukan Willy duduk di ruang TV. Tak biasanya ia absen menungguku pulang untuk sekedar memanggil “Mama...” Terasa ada yang kurang, tapi tak begitu kupedulikan. Mungkin akan baik bagi kami berdua untuk tidak saling peduli. Ketika melihat Willy akrab degan Mami setiap harinya, ada kelegaan menyeruak. Merasa ada yang bisa menggantikanku menyayanginya membuatku lega. Walau di sisi lain ada rasa kawatir  yang muncul dari sebuah kesadaran bahwa aku telah menjadi semakin asing baginya.
Lima tahun silam Mami dengan besar hati memutuskan untuk tinggal bersamaku. Ia hadir untuk membangunkanku dari keterpurukan, menguatkanku, menantangku untuk mendongakkan kepala menatap hari-hari ke depan, dan menyayangi Willy, cucu satu-satunya yang lahir dari sebuah kesalahan putrinya. Mami role modelku untuk bertumbuh dalam hidup. Darah ketegaran mami mengalir kuat di diriku, namun sayang jiwa besar dan kebijaksanaanya dalam menghadapi tiap salib kehidupan masih jauh dariku. Mami ada untuk aku dan Willy, dan Mami-lah yang mencurahkan kasih sayang pada Willy untukku. Bukanlah Mami jika berlaku keras terhadap ketidak benaran. Suatu malam Mami berbicara serius padaku, “Sella, sampai kapan kamu akan bersikap kekanak-kanakan dan seperti pengecut yang lari dari masalah, yang nyaman terpekur pada kepahitan dan kebencian? Mami bilang kamu harus mulai menjadi ibu yang sesungguhnya untuk Willy sebelum semuanya terlambat. Kasih sayang Mami untuk Willy sama sekali tidak bisa menggantikan kasih sayang ibu untuk anaknya, dan Willy butuh itu. Kalo kamu tetap keras kepala dan senang berkubang pada kepahitan, sama saja kamu menghadirkan baying-bayang Pria untuk menghancurkanmu. Ada harga mahal yang harus dibayar atas keterlambatan yaitu penyesalan”.
***
Hari ketiga keabsenan Willy membuatku semakin merasa ada yang kurang. Mmm... bukan hanya kurang, tapi rindu. Berangkat dari rasa rinduku pada Willy, kutantang diriku untuk meletakkan gengsi dan menanggalkan kebencianku. Kutaruh tas kerjaku di sofa biasa Willy duduk, dan kulangkahkan kaki ke kamar Willy. Kubuka kamarnya pelan-pelan. Aku tak ingin ia mendapatiku mencarinya. Dengan wajah malaikatnya, ia tertidur pulas dengan memeluh boneka Spongebob dan Patrick pemberian Mami. “Willy sangat menyukai Spongebob dan Patrick,” kata Mami suatu hari. “Dua tokoh kartun itu mengajarinya menyayangi, dan setia satu dengan yang lain,” terang Mami.
Menit berikutnya aku sudah mengekplorasi kamar Willy, ruangan yang paling jarang kukunjungi. Dinding kamar penuh dengan gambar-gambar abstrak buatan anak lima tahun. Kuamati satu per satu gambar yang tertempel di dinding, semua hampir serupa. Berwarna abu-abu dan hitam. Hanya beberapa gambar yang berwarna biru. Apakah warna-warna ini ekspresi kesedihan dalam hari-harinya? Aku bertanya. Tiba-tiba kesedihan menjalar dalam diriku. Semakin kuamati gambar-gambar Willy semakin dalam rasa sedih ini. Kiranya detik ini sampailah aku pada sebuah kesadaran bahwa kepahitanku menenggelamkan keceriaan anak lima tahun. Dan akupun menangis. Betapa kepahitan yang bertahun-tahun ini meracuniku dan menjadikanku sebagai pembenci. Aku menjadi pribadi yang dingin.
Kemudian kudekati tempat Willy berbaring. Kuamati wajahnya yang terlelap, dan kusentuhkan tangku yang gemetar pada rambut ikalnya. Bulu matanya yang lentik dan garis mukanya yang tegas milikku. Ternyata tidak sepenuhnya Willy menduplikat Pria. Betapa aku baru tersadar bahwa aku merindukan apa yang sebenarnya ada di sampingku, bersamaku. Selembar kertas di bawah bantalnya mencuri perhatianku. Kutarik kertas itu pelan-pelan dan kubaca. Tulisan anak lima tahun yang penuh misteri. Misteri karena maknanya tersembunyi dibalik tulisan cakar ayam yang sulit untuk dibaca. Beberapa kali kuulangi membaca deretan tulisan tak beraturan itu. Kembali kubaca pelan-pelan, mencoba menangkap apa yang ada di benak Willy, putraku.
                               

Mama Sella
            Kata oma, mama sayang sama willy.
            Tapi willy merasa mama bukan sayang tapi sangat sayang willy
            Mama sella jarang tersenyum sama willy
            Tapi willy tahu mama sangat sayang sekali sama willy
            Willy sangat sangat sayang sekali sama Mama

Cukuplah sudah kau membenturkanku pada kesadaran yang berat, Nak. Hancurlah segala kebencian dan kepahitan ini dengan kata-kata lugu-mu, “... sangat sangat sayang sekali sama mama.” Pria kecil yang tak kupedulikan sejak hari pertama kehadirannya di dunia. Rasanya aku orang yang begitu jahat telah menelantarkan ia yang tak bersalah.
***
Esoknya.
Kutemukan aku memeluk boneka Spongebob dan Patrick di tempat tidur Willy. Dimana Willy? Dan aku terbangun dengan kesadaran yang lebih memilukan: ini hari ketiga setelah pemakamannya.

Aku terlambat mengatakan: Mama sangat sangat sayang sekali sama Willy.

Komentar

Postingan Populer