Yang Perawan yang Bintang Kelaskah?

Aku besar dan tumbuh di era 2000an. Pembicaraan, topik, pengetahuan, teknologi, semuanya berkembang. Opini masyarakat pun tak mau ketinggalan selalu berkembang menurut sudut pandangnya sendiri. Sejak tahun 2000an (seingatku) ada satu topik menarik yang muncul di permukaan, yaitu keperawanan. Keperawanan bukanlah hal yang lazim untuk dibicarakan, disebutkan, didiskusikan, maupun dibuatkan aturan; dulu... di masyarakat sekitarku (baca bangsa). Mulai tahun 2000an orang mulai sibuk membicarakan, menyebutkan, mendiskusikan, dan bahkan (berencana) membuatkan aturan untuk si keperawanan. Aku sendiri tak paham kenapa keperawanan menjadi hal menarik untuk diurusi. Asumsiku karena anak-anak muda jaman sekarang (jamanku) banyak yang sudah tidak perawan dan kurang memberi nilai pada keperawanan itu sendiri. Berbeda dengan tahun-tahun di era 1900an, masyarakatku masih melihat keperawanan itu sebagai urusan manusia secara individu, bukan urusan sosial atau publik jadi tidak secara terang-terangan di bicarakan.

Urusan keperawanan yang kini (nampaknbya) sudah bergeser menjadi urusan publik dianggap menjadi urusan negara juga. Adanya tes keperawanan untuk siswa-siswa di sekolah tingkat menengah membuatku sedikit geli. Mungkin aku yang tak paham kebijakan pemerintahku, makanya aku geli. Aku tak paham apa hubungan antara keperawanan dan akademis. Pernah ada sebuah penelitian menyebutkan bahwa ketidak perawanan mempengaruhi konsentrasi atau daya fokus seseorang terhadap suatu hal. Tergangunya konsetrasi atau kemampuan untuk bisa fokus sangat mungkin mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap bahan ajar, yang kemudian bisa mempengaruhi prestasi akademis siswa tersebut. Alasan tersebut masih masuk akal, namun hasil penelitian tersebut sudah selayaknya dikaji lebih lagi untuk mendapatkan hasil yang valid, dan teruji bukan berhenti pada asumsi dan hasil mentah dengan label katanya.

Surat kabar nasional (edisi Agustus 2013) kembali ramai tentang isu tes keperawanan bagi siswi sekolah. Opini pro-kontra ramai menghiasi kolom-kolom berita nasional. Salah satu sebab yang banyak diulas di surat kabar yaitu maraknya human trafficking yang melibatkan siswa sekolah menengah. Kejadian itu mendorong pemikiran tentang perlunya tes keperawanan.

Pertanyaan-pertanyaan muncul di benak saya berkaitan dengan tes keperawanan siswi sekolah menengah. Dimulai dari definisi keperawanan sendiri. Apa yang dimaksud dengan perawan? Apakah selaput dara yang masih utuh? Ataukah belum pernah melakukan hubungan sex? Mana yang dimaksud dengan perawan? Jika perawan hanya sebatas tentang utuh atau tidaknya selaput dara, banyak remaja putri mungkin akan masuk dalam kategori tidak perawan. Gadis yang pernah mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan selaput dara sobek berarti tidak perawan. Begitukah?

Pertanyaan kedua mengenai solusi untuk para siswi yang sudah tidak perawan. Meniru komentar muda-mudi jaman sekarang: So what gitu lho?! Jika memang terbukti bahwa keperawanan (rusaknya selaput dara dengan sebab apapun) mempengaruhi prestasi akademik siswi, sudahkah dipikirkan solusi untuk membantu siswi agar kembali percaya diri dan berprestasi di sekolah. Jika yang definisi yang dipakai adalah: tidak perawan berarti rusaknya selaput dara karena berhubungan sex pra-nikah, kemudian apa yang harus dilakukan? Pencegahan apa yang dijalankan?

Hendaknya untuk berkeputusan dan membuat perundangan bukan sekedar gagap untuk menjadi gempita. Kajian dan penelitian untuk mencari penjelasan asumsi kemudian solusi yang tidak berhenti pada wacana harusnya menjadi yang utama.






Komentar

Postingan Populer