Fenomena Pertanyaan “Kapan Kawin”

Ketemu tetangga di pasar yang udah 3 tahunan nggak ketemu:
“Hi... Apa kabar. Wah sekarang udah gadis. Udah punya pacar belum? Kapan nikah?”
Ketemu saudara di acara kondangan:
“Wah sekarang sudah kerja ya? Kerja dimana? Masih pacara sama Mas X? Trus kapan nih nyusul?”
Chatting di facebook sama teman SMP:
“Eh si Ini udah punya anak dua lho… Ini aku lagi hamil anak ketiga. Lha kamu kapan kawin? Udah punya pacar kan?”
Ngobrol sama Emak di rumah:
“Kamu tuh kerja melulu… sekolaaah terus yang dipenginin. Trus kapan kasih Ibu mantu? Ibu juga udah pingin nimang cucu…”

Ketemu si Anu… ngobrol dengan si Itu bla… bla… bla… zzz… ujung-ujungnya ditanya tentang nikah. WOW!
***

Jadi ingat beberapa tahun yang lalu ada sebuah iklan rokok yang dibintangi oleh Ringgo Agus Rachman di televisi berbicara hal yang sama. Ditanya tentang rencana menikah, dengan enteng si Ringgo menjawab May… be yes, Maybe no . Jenggah ditanya tentang pacar, pernikahan, anak, dkk? Tandanya Anda sudah memasuki usia seperempat abad atau lebih (> 25 tahun). Usia yang dianggap sudah matang dan siap untuk berumah tangga.

Nampaknya tema tentang pernikahan menjadi menarik untuk dibahas lebih dan untuk diteliti kecil-kecilan. Fenomena yang terbaca akhir-akhir ini – dari kacamata para orangtua yang lahir era 40-60an yang mempunyai anak yang belum menikah, menikah muda tidak lagi in untuk para generasi Y (kelahiran 1980an). Para anak-anak ini lebih suka bekerja/berkarir dan sekolah.

Dari penelitian (kalau boleh disebut demikian) kecil-kecilan dan melalui wawancara tidak resmi kepada beberapa orang teman ada beberapa point menarik yang bisa saya catat mengenai pernikahan. Penelitian ini saya lakukan kepada teman-teman dengan profil sbb:
- Usia 25-31 tahun (10 orang)
- Belum menikah
- Laki-laki dan perempuan
- Bekerja
- Berpendidikan S1 dan S2
- Tinggal di kota besar
- Melek teknologi dan Informasi
- Dari berbagai latar belakang budaya, etnis, kepercayaan/agama

Saya tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus kepada mereka. Saya hanya menceritakan situasi-situasi seperti yang tertulis di awal tulisan ini. Dari situasi-situasi tersebut saya meminta pendapat mereka, pandangan mereka tentang pernikahan.

Memutuskan untuk menikah adalah hal yang besar dan penting dalam hidup, maka harus dipikirkan secara matang. Banyaknya kasus perceraian dari para public figure/artis membawa dampak bagi para responden saya. Kehati-hatian memilih pasangan hidup menjadi fokus karena pengertian penikahan sekali seumur hidup menjadi pegangan mereka (para responden). Mereka semua tidak setuju dengan adanya perceraian dan poligami. Untuk meminimalisasi kemungkinan ketidakcocokan dengan pasangan (jawaban klise para artis ibukota: beda prinsip) di kemudian hari, teman-teman saya memilih untuk memilah pasangan lebih teliti agar lebih “siap”.

Kesiapan menikah bisa diukur dari tiga hal besar: biologi, ekonomi, dan psikologi. Secara biologi, tidak diragukan lagi, bahwa mereka siap. Namun dua hal yang mengikutinya: ekonomi dan psikologi masih perlu dikaji lagi. Memang hukum relativitas berlaku disini. Siap secara ekonomi dan psikologi satu orang dengan yang lain berbeda. Dari semua responden saya rata-rata mengungkapkan bahwa rumah, kendaraan, tabungan, dan status pekerjaan (sudah karyawan tetap sehingga ada asuransi) menjadi tolok ukur kesiapan ekonomi. Secara psikologi agak sulit diukur karena memang saya tidak membuat variable yang dapat diukur. Secara psikologi para responden saya mendiskripsikan lebih ke kesiapan mental untuk bisa hidup dengan orang lain (status yang berubah dari single menjadi bersuami/beristri, yang tadinya bebas menentukan apa-apa sendiri menjadi harus kompromi), untuk berbagi dan bertoleransi lebih dengan orang yang akan tinggal 24 jam dan menghabiskan sisa hidupnya bersama orang tersebut, kesiapan untuk mempunyai keluarga kedua (dari pihak suami/istri). Dan tambahannya lagi kesiapan untuk mendapatkan anggota keluarga baru (anak).

Kesiapan psikologi seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman dalam menjalin kisah cinta (pacaran) dan/atau melihat pengalaman orangtua dalam berumah tangga. Beberapa teman saya tersebut mempunyai pengalaman kurang mengenakan di keluarga yang membuat mereka sangat berhati-hati untuk memutuskan berumah tangga. Kita mengenal fase puber kedua yang dialami oleh para pria. Pengalaman melihat puber kedua sang ayah yang berujung pada perselingkuhan membawa trauma tersendiri bagi si anak, khususnya anak perempuan. Tauma itu berupa ketakutan untuk mengalami “diselingkuhi” oleh pasangannya. Ketidakcocokan atau ketidakharmonisan hubungan antara menantu dan mertua juga membawa ketakutan. Rumah/keluarga merupakan tempat pertama dan utama anak belajar tentang apapun termasuk membangun rumah tangga. Kegagalan atau keberhasilan rumah tangga orangtua ternyata berkontribusi dalam bagaimana seseorang mendefinisikan pernikahan.

Memilih pasangan sejatinya tidak sedangkal/semudah teori seorang motivator yang punya acara “Jalan Emas”: Wanita yang menikah dengan pria yang baik akan lebih bahagia, daripada yang menikah karena harta, berapa pun banyaknya.” Belajar dari (kurang-lebih) pernyataan dari Emil Salim yang baru saja merayakan 55 tahun pernikahan di acara We Sing for You edisi 13 Oktober 2013 tentang berkeluarga haruslah siap segala sesuatunya. Masing-masing pribadi, selama masih muda harus bercita-cita tinggi dan bekerja sebaik-baiknya agar suatu saat bisa menjadi penanggung jawab keluarga yang baik. Yang ditegaskan dalam kata-katanya yang menyejukkan: “Krn Perkawinan seperti tarik tambang, carilah pasangan hidup yang berbeda dari kita. Kamu keras, carilah pasangan yang lembut” - Emil Salim.

Penelitian ini masih sangat dini untuk bisa dengan disimpulkan menjadi “sesuatu” karena masih jauh dari valid. Namun ini kiranya menjawab beberapa pertanyaan dan memberi gambaran bagaimana para generasi Y melihat dan memberi nilai pada pernikahan.
Q: “Marry me…”
A: a. “I do!” *surely
b. “Mmm…” *checking the readiness list above 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer