Senyum



Hanya satu pintaku jika waktu telah berkata usai atas hidupku, masih sempat kupersembahkan satu senyum tebaik untuk dunia. Senyum terbaik yang bisa kupersembahkan diakhir nafasku...


Di suatu pagi sebelum menghadiri acara pernikahan, aku dan satu teman bercanda tentang kematian. Kami berbicara ringan, tanpa beban ataupun ketakutan. Dia yang memulai, "Lu pingin mati hari apa dan apa yang mau ditulis di nisan lu". "Gw pengin dikubur hari Minggu biar banyak yang datang kepemakaman gw, belom tahu nulis apa, tapi gw pengin ada patung malaikat kecil di atas pusara gw", begitu balasku. Dia memilih mati hari Rabu, sayangnya kali ini aku telah lupa kenapa ia memilih hari itu dan apa tulisan yang harus ada di nisannya... Hari itu, sebelum menghadiri pernikahan kami membicarakan kematian dengan gembira.

--

Di lain hari, menjelang sebuah kematian, seorang Ibu membicarakan pernikahan. Putra sulung kesayangannya akan menikah dalam hitungan hari. Sang ibu mengetahui alasan putranya mempercepat hari pernikahan, putranya ingin memberikan sebuah akhir cerita yang indah baginya, dan agar ia meninggal dalam senyum yang lebar. Pukul 10 di hari ke 10 pertengahan tahun 2013, sebuah pernikahan dilangsungkan di kapel kecil sebuah rumah sakit. Upacara yang (seharusnya) dipenuhi suka cita itu hanya berlangsung 1 jam lebih cepat dari yang dijadwalkan. Tak ada perayaan yang berlebihan setelahnya, bukan juga gedung mewah yang mereka sewa. Masih dengan baju pengantin, sang putra dan istrinya merayakan pernikahan mereka di kamar VIP 3011, tidak ada pelaminan, hanya selang infus dan oksigen yang menghiasi ruangan. Enam jam setelah janji suci putranya, sang ibu mangkat dengan senyum lebar penuh ketenangan, seperti tak peduli akan tangis si sulung dan menantu barunya. Belum genap 24 jam berumah tangga, badai besar menghantam bahtera si sulung. Senyum Bunda yang meninggalkan duka.

--

Ada pesan singkat masuk tepat ketika aku baru membuka mata. Aku berharap itu ucapan selamat pagi dari kekasihku. Ternyata bukan, pesan itu dari salah satu teman lama di ibukota. Dengan sedikit kecewa kubuka pesan itu. >> Mbak Septa meninggal tadi pagi dini hari<<. Serasa ada satu rusukku dicabut, pilu... sedih... Tiga bulan sebelumnya, di tengah pergulatannya dengan kanker, suami tersayangnya meninggal karena serangan jantung. Putra-putrinya yang masih remaja belum sembuh dari duka. Seminggu sebelum kepergiaannya, ia meneleponku. Menanyakan kabar, bercerita biasa, memberi kabar bahwa masih dalam terapi untuk penyembuhan kankernya. Di akhir teleponnya, ia memguntaskan doa untuk kebahagiaanku. Ia yang mungkin sedih masih mampu menguntaskan doa untuk kebahagiaan orang lain. Dan pagi di hari kepergiaanya, kami bersama2 menutup hari dengan senyum; senyum piluku karena kehilangan dia, dan senyumnya yang tenang karena tugas telah usai dan rasa sakit telah ditiadakan atasnya.

--

Di titik kesedihan yang dalam ada sebersit kebahagiaan yang dianugerahkan, disetiap gegap gempita kebahagiaan ada titik kesedihan yang tak bisa diabaikan. Ironi... menjaga hidup agar selaras dalam harmoni...

Komentar

Postingan Populer