Dengarkan Hening
Ketika dunia yang kutinggali begitu gaduh akhir-akhir ini, aku memilih undur diri mendengarkan keheningan. Berjalan meretas batas peradaban modern dengan kehidupan bersama alam. Hujan, tanah berbatu, jalur berlumpur memeluk dengan mesra. Membawa kesejukan sekaligus kehangatan jiwa dan nurani yang sedikit berduka. Urang Kenekes (Suku Baduy) mengajarkan nilai dalam diam dan melalui laku keseharian mereka. Berhentilah dan dengarlah bagaimana alam bebicara tentang esensi hidup di setiap helaan nafas.
Sepuluh jam perjalanan
pulang-pergi dalam kurun waktu 36 jam kunjungan membawa cerita yang tak
semuanya bisa termuat dalam kata-kata dan gambar. Satu perjalanan ini kembali
menajamkan kontemplasi dalam konstalasi peziarahan. Aku bukan juru warta yang
cakap berbahasa melaporkan berita. Yang kutulis hanya intisari makna yang
tercecap. Sajak dalam larik-lariknya tertoreh sebagai pengingat momentum itu.
Jembatan Akar Baduy Luar |
Riak air memekik dalam
hening
Gemericik mata air
menari
Di antara bebatuan
alam
Lumut-lumut tebal
bagai permadani menyaringnya
Jiwa menyatu dalam
raga alam
Bertumpu pada sebuah
harmoni
Berdendang bersama
burung liar
Mengalun untuk
menyerukan makna peradaban
Tanah yang liat karena
hujan semalam
Melekat manja pada
kaki-kaki perkasa pengembara hutan
Tak banyak ucap pada setiap
harinya
Bahasa sukma bebicara
lebih banyak dari kata yang berlaksa-laksa
Kami titip alam yang
ada padamu
Ijinkan setiap orang
luar untuk juga menjagamu
Tenun dan surban putih
yang kau kenakan
Jangan sampai lekang
Urang Kenekes hidup
dalam keheningan alam
Mendengarkan kebijaksanaan
lewatnya
Credit to Viktoria for the second pic.
Komentar
Posting Komentar